Status Hukum Hubungan Kerja Tanpa Perjanjian Kerja Tertulis
Hubungan kerja terdiri atas para pihak sebagai subjek (pengusaha dan pekerja/buruh), perjanjian kerja, adanya pekerjaan, upah, dan perintah. Berikut akan kami jabarkan unsur-unsur dari hubungan kerja :
1) Unsur adanya pekerjaan
2) Unsur adanya upah
3) Unsur adanya perintah
4) Unsur waktu tertentu
Mengenai adanya suatu hubungan kerja tanpa adanya perjanjian kerja, maka hal tersebut bertentangan dengan Pasal 50 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan(“UUK”), yang mana disyaratkan dalam pasal tersebut bahwa:
“Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh”
Kemudian Pasal 51 UUK menyebutkan bahwa, Perjanjian Kerja dapat dibuat baik secara “TERTULIS” ataupun “LISAN”, sehingga untuk kasus tersebut dapat diasumsikan bahwa Perjanjian Kerja antara Saudara dengan pemberi kerja (pengusaha) dilakukan secara lisan.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah sah apabila Perjanjian Kerja tersebut terjadi secara lisan? Perjanjian Kerja Saudara adalah “SAH”, selama tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 52 ayat (1) UUK, yaitu:
1) Kesepakatan kedua belah pihak;
2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian, apabila ditelaah lebih dalam, tentunya harus ditentukan apakah jenis Perjanjian Kerja Saudara, apakah Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”), karena terhadap dua Perjanjian Kerja tersebut mempunyai spesifikasi hak dan kewajiban yang berbeda. Untuk menjawabnya, dapat dilihat pada Pasal 57 ayat (1) dan (2) UUK, yang mensyaratkan untuk pembuatan secara tertulis terhadap PKWT, apabila ternyata PKWT tersebut tidak dibuat secara tertulis, maka secara otomatis Perjanjian Kerja tersebut menjadi PKWTT.
Selain itu, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, di dalam Pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa:
“Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tentu (PKWTT) sejak adanya hubungan kerja”
Dengan kata lain, secara a contrario dapat ditafsirkan bahwa ketika Perjanjian Kerja tersebut secara lisan (tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin), maka Perjanjian Kerja tersebut merupakan PKWTT.
Dengan demikian, Pekerja berhak untuk menuntut hak-hak Saudara sebagai karyawan dengan status hubungan kerja PKWTTsesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berikut kami paparkan mengenai hak-hak seorang pekerja dengan status PKWTT, yaitu :
Dasar hukum: