Sebuah dialog klasik di kalangan Pelatih, Pendidik dan Organisasi.
Saya mencoba mengangkat isu yang sangat relevan dan sering kali menjadi perdebatan di banyak kalangan, baik di dalam maupun di luar dunia pendidikan dan pelatihan di Indonesia. Ketidakselarasan antara standar sertifikasi dan kualitas sumber daya manusia (SDM) di lapangan, serta dominasi kepentingan bisnis dalam sistem sertifikasi, memang dapat menimbulkan perasaan skeptis di kalangan praktisi berpengalaman. Ini adalah isu kompleks yang melibatkan berbagai aspek, baik dari segi sistem sertifikasi itu sendiri maupun pengelolaan lembaga yang menyelenggarakannya, seperti BNSP.
Ketidaksinkronan Kualitas SDM BNSP dan Praktik Sertifikasi
Memang tidak jarang ditemui situasi di mana kompetensi dan kualitas SDM yang ada di lembaga penyelenggara sertifikasi (termasuk BNSP) tidak sebanding dengan ekspektasi dan pengalaman yang dimiliki oleh para trainer atau praktisi berpengalaman. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan terhadap proses sertifikasi yang dirasakan hanya sebatas formalitas tanpa mengukur kompetensi secara substansial.
Faktor-faktor yang menyebabkan ketidaksinkronan:
Proses sertifikasi yang terstandardisasi sering kali tidak mencakup aspek praktis yang diperoleh melalui pengalaman bertahun-tahun bekerja di lapangan. Para trainer berpengalaman merasa bahwa kualitas pengajaran dan pelatihan mereka yang telah terbukti di dunia industri tidak dapat diukur dengan secarik kertas atau tes formal.
Prosedur sertifikasi yang mungkin terlalu berfokus pada aspek administrasi atau prosedural tanpa mengutamakan relevansi dengan kebutuhan dunia industri yang terus berkembang. Hal ini sering kali membuat para praktisi berpengalaman merasa bahwa sertifikasi ini lebih berfokus pada keuntungan bisnis daripada pengakuan terhadap keahlian mereka.
Perspektif Trainer Berpengalaman: Sertifikasi Sebagai Formalitas
Banyak trainer berpengalaman merasa bahwa sertifikasi di Indonesia terkadang hanya sebuah formalitas belaka yang tidak mencerminkan keahlian praktis yang sebenarnya mereka miliki. Mereka sering melihat sertifikasi sebagai proses administratif yang lebih mengutamakan keuntungan finansial bagi lembaga yang mengeluarkan sertifikat daripada sebagai alat untuk menilai dan meningkatkan kompetensi.
Beberapa alasan mengapa hal ini terjadi:
Sertifikasi Sebagai Bisnis: Proses sertifikasi sering kali dipandang sebagai komoditas atau bisnis yang menguntungkan, dengan lembaga sertifikasi yang memungut biaya untuk tes dan pelatihan tanpa selalu menjamin kualitas atau relevansi ujian dengan dunia kerja. Banyak trainer berpengalaman yang merasa bahwa sistem ini lebih menguntungkan bagi lembaga penyelenggara sertifikasi daripada bagi peserta atau calon tenaga kerja.
Kehilangan Makna Sertifikasi: Seiring waktu, banyak trainer yang merasa bahwa sertifikasi tidak lagi berfungsi untuk mengukur kompetensi secara substantif, tetapi hanya sebagai alat untuk memenuhi kewajiban administratif atau persyaratan formalitas, misalnya untuk mendapatkan pekerjaan atau mendapatkan kontrak pelatihan.
Sertifikasi yang Tidak Mengakomodasi Keahlian Praktis: Sertifikasi formal sering kali terlalu fokus pada teori atau tes tertulis, sementara para praktisi berpengalaman merasa bahwa keahlian praktis yang mereka miliki lebih penting dan tidak bisa diukur hanya dengan ujian tertulis atau portofolio formal.
Dampak dari Ketidaksinkronan dan Persepsi Negatif terhadap Sertifikasi
Persepsi bahwa sertifikasi hanya formalitas bisa menurunkan kepercayaan diri trainer dan para pelatih, serta merugikan kepercayaan terhadap sistem sertifikasi itu sendiri. Akibatnya, muncul ketidakpercayaan terhadap lembaga sertifikasi seperti BNSP dan proses sertifikasi secara keseluruhan, yang pada akhirnya dapat berdampak pada efektivitas sistem sertifikasi dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja di Indonesia.
Beberapa dampaknya adalah:
Kualitas Pelatihan yang Menurun: Jika para trainer berpengalaman merasa bahwa sertifikasi hanya formalitas dan tidak memberikan nilai tambah, mereka mungkin kurang termotivasi untuk mengikuti atau memberikan pelatihan yang sesuai dengan standar sertifikasi. Hal ini pada gilirannya mempengaruhi kualitas pelatihan yang diberikan kepada peserta.
Perlunya Reformasi Sertifikasi: Ketidakpercayaan ini juga dapat memicu perlunya perubahan atau reformasi dalam sistem sertifikasi agar lebih relevan dan lebih mengakomodasi keahlian praktis yang dimiliki oleh para pelatih dan trainer berpengalaman.
Kebutuhan untuk Meningkatkan Sistem Sertifikasi di Indonesia
Untuk menanggulangi masalah ini, ada beberapa langkah yang dapat diambil untuk memperbaiki dan mengembangkan sistem sertifikasi di Indonesia agar lebih adil, relevan, dan efektif:
Meningkatkan Kualitas SDM di BNSP dan Lembaga Sertifikasi: Agar sistem sertifikasi lebih efektif, lembaga yang menyelenggarakan sertifikasi (seperti BNSP) harus memastikan bahwa SDM yang terlibat dalam proses sertifikasi, baik itu dalam pembuatan standar maupun dalam pengawasan, memiliki kompetensi yang memadai dan relevansi dengan dunia industri yang berkembang. Hal ini bisa dilakukan dengan meningkatkan pelatihan bagi staf BNSP agar lebih memahami kebutuhan praktis di lapangan.
Sertifikasi yang Lebih Menekankan Keahlian Praktis: Sistem sertifikasi perlu lebih banyak melibatkan ujian praktik yang mengukur keterampilan nyata yang dibutuhkan di dunia industri, bukan hanya ujian tertulis atau administratif. Ini akan membantu menghilangkan anggapan bahwa sertifikasi hanya formalitas belaka.
Melibatkan Praktisi Berpengalaman dalam Proses Sertifikasi: Praktisi berpengalaman yang sudah terbukti kompetensinya perlu dilibatkan lebih aktif dalam penyusunan standar dan penilaian kompetensi agar sistem sertifikasi lebih mencerminkan kebutuhan nyata di industri. Ini bisa mencakup kolaborasi dengan trainer berpengalaman untuk memperbarui dan menyesuaikan standar sertifikasi dengan dinamika industri yang ada.
Mengurangi Unsur Bisnis dalam Sertifikasi: Ada kebutuhan untuk mengurangi komersialisasi dalam sistem sertifikasi, di mana lembaga sertifikasi harus lebih fokus pada pengakuan kompetensi daripada hanya mengejar keuntungan. Ini bisa dicapai dengan memperkenalkan transparansi dalam biaya sertifikasi dan memastikan bahwa biaya tersebut digunakan untuk mendukung peningkatan kualitas sertifikasi itu sendiri.
Kehadiran ketidaksinkronan antara kualitas SDM BNSP dan para trainer berpengalaman yang merasa sertifikasi adalah formalitas belaka memang menciptakan tantangan besar bagi sistem sertifikasi di Indonesia. Hal ini mencerminkan perlu adanya evaluasi dan reformasi dalam proses sertifikasi agar lebih mengakomodasi keahlian praktis dan relevansi dengan kebutuhan industri. Agar sistem sertifikasi dapat lebih dihargai dan diakui, kualitas sertifikasi harus diperbaiki untuk memastikan bahwa itu tidak hanya menjadi alat untuk kepentingan bisnis, tetapi benar-benar menjadi pengakuan terhadap kompetensi dan pengalaman nyata di lapangan.