oleh Safrin Heruwanto
Siapa yang masih menganggap bahwa saat ini adalah masa penuh “terang benderang”?, masa yang penuh kejayaan dan kemenangan Diinul Islam?…masa yang penuh dengan “kedamaian” dan “kenyamanan” yang hakiki?.
Faktanya, “jahiliyyah” modern ini mengundang keprihatinan yang cukup serius dan mendalam. Maraknya peredaran pornografi, free sex menjangkit pada kaum remaja, dunia pendidikan yang kotor tercoreng dengan aksi bullying saat masa Orientasi Sekolah, dan penyakit budaya “katrol” nilai dan kecurangan untuk menaikkan peringkat sekolah dan masih banyak lainnya yang membuat kita merasa sedih bercampur marah.
Kenyataan tersebut cukup membuat sesak dada dan memaksa kita untuk memberikan perhatian ekstra pada pendidikan karakter anak bangsa. Sebenarnya kita mengerti bahwa para remaja saat ini adalah Calon Pemimpin Bangsa pada waktunya nanti. Jika kita tidak berbuat sesuatu yang berharga pada hari ini, maka niscaya kelak akan mengalami penyesalan tiada akhir dan kiat menyayat kalbu.
Karakter pemimpin seperti para sahabat Rasulullaah Muhammad SAW atau Bung Hatta di negeri kita, kini semakin langka. mengutip kisah Syaikh Ahmad Yassin di Palestina adalah pemimpin yang memiliki keyainan kuat dalam perjuangannya memerdekakan Palestina. Melalui orasi-orasinya dari kursi roda, beliau mendorog rakyat Palestina-khususnya-dan dunia yang masih mempunyai nurani untuk ikut berjuang menghapus penjajahan zionisme Israel dari bumi Palestina.
Mohammad Hatta, tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia, begitu dekat dengan hati rakyat Indonesia begitu merakyat dan sederhana kehidupannya. Kesederhanaan yang mewarnai hampir dalam semua aspek kehidupannya. Baik Bung Hatta dan Ahmad Yassin, dengan karakternya yang KUAT dalam memperjuangkan kemerdekaan negaranya masing-masing telah tercatat dalam merahnya sejarah. Yaitu warna yang KUAT yang mereka miliki dan sangat dibutuhkan oleh seorang Pemimpin.
KARAKTER adalah sifat-sifat kejiwaan, ahlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, atau bermakna bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, tempramen, watak.
Menanamkan karakter positif pada pribadi seseorang sangat penting. Banyak orang menggunakan berbagai cara dan metode untuk dapat menerapkan karakter positif. Misalnya dalam budaya Jawa proses penanaman karakter dilakukan dengan simbol-simbol tokoh pewayangan. dan hingga kini masih dikenal masyarakat sebagai salah satu sarana pendidikan dan penyebaran nilai-nilai positif dalam masyarakat.
Kita membutuhkan Pendidikan, yaitu proses pembelajaran yang bertujuan mengembangakan karakter positif pada anak, remaja dan peajar sehingga mampu menghasilkan perilaku yang kuat dan melekat, membentuk jiwa mandiri dan memiliki kepemimpinan yang kuat. Pendidikan seperti ini INSYA-ALLAAH, mampu mengukir nilai-nilai positif yang kuat yang berkaitan dengan perilaku manusia terhadap Penciptanya, dirinya, keluarganya, masyarakat dan lingkungannya. itulah dimaksud sebagai pendidikan karakter dalam artikel ini.
MENGAPA PENDIDIKAN KARAKTER?
Pendidikan karakter biasa dimulai dengan pendidikan Moral dan Etika atau bagian dari Pendidikan Akhlaq, dalam Dinul Islam. Sesuai dengan keterangan Hadits Riwayat Ahmad – ” Bahwasanya aku (Muhammad SAW) diutus untuk menyempurnakan akhlaq manusia”.
Menumbuhkan Akhlaq Mulia merupakan kompetensi dasar dalam proses Pendidikan Karakter setiap anak, yang sejatinya merupakan bagian dari “fitrah” manusia. Fitrah dalam hal ini adalah “kembali kepada hakekat penciptaan manusia yaitu Tunduk dan Patuh pada Ketetapan Allaah SWT Sang Pencipta, dimana bergantung semua makhuq ciptaanNYA”.
Qur’an Surat Ar Ruum ayat 30:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (sebagai perwujudan dari) fitrah Allah (sifat-sifat Allah). (Allah) Yang telah menciptakan manusia, menurut fitrah itu (pula). Tidak ada perubahan pada fitrah Allah, (yang berupa) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Dalam bahasa Arab, Fitrah (fitrah) dengan segala bentuk derivasinya mempunyai arti belahan (syiqah), muncul (thulu), kejadian (al ibtida), dan penciptaan (khalqun). ;Sifat pembawaan yang sejak lahir.; Jika dihubungkan dengan manusia maka yang dimaksud dengan fitrah adalah apa yang menjadi kejadian atau bawaan manusia sejak lahir atau keadaan semula jad. Ditegaskan pula bahwa fitrah mengandung pengertian bahwa Allah menciptakan ciptaan-Nya (makhluk) dan menentukan tabiatnya untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian pengertian fitrah secara semantik berhubungan dengan hal penciptaan (bawaan) sesuatu sebagai bagian dari potensi yang dimiliki.
Melalui narasi yang bebas terikat, dapatlah disimpulkan, bahwa menurut Al-Qur’an (Ar-ruum 30), Manusia diciptakan, seiring senilai dengan hakikat penciptaan Bumi dan Langit yang selalu berada dalam “garis edarnya”, selalu patuh tanpa penolakan, maka begitulah fitrah manusia (seharusnya), Patuh beredar pada “garis edar/orbitasi” nya. sampai pada saat manusia itu sendiri yang memilih antara kehidupan Nur (Jannah) ataukah Zhulumat (Jahannam) secara bebas dengan segala konsekwensinya. Jika ingin SELAMAT, maka milikilah “pandangan dan sikap hidup” terhadap Ajaran Allaah swt yaitu Al-Qur’an wa Sunnaturrasuul.
Globalisasi yang menjadi buah bibir, juga sarat dengan ekses negatif bagi para anak dan remaja. Kemudahan akses internet, games online yang sarat dengan kekerasan dan pronografi, baik secara langsung atau tidak-bagi anak-anak didik-cukup krusial memberikan pengaruh terhadap hasil pendidikan dan pembelajaran mereka, yang sebagai “asset” berharga masa depan bangsa.
Kasus-kasus telah terjadi yang menyiratkan kesan tidak berpengaruhnya pendidikan di sekolah. Mereka (anak didik) tidak memiliki langkah yang antisipatif dalam menyikapi efek negatif globalisasi. Namun sebaliknya, mereka disibukkan dengan urusan pergaulan yang mengutamakan penampilan “semu”, bukan pula prestasi-prestasi positif yang jauh bermanfaat dan membaganggakan.
DAMPAK NEGATIF GLOBALISASI MASIH DAPAT DITANGANI JIKA ANAK-ANAK MEMILIKI KETAHANAN MENTAL YANG CUKUP DAN BAIK, YANG BERDASAR DARI PONDASI AGAMA (DIINUL ISLAM) YANG DIDALAMNYA MENGAJARKAN MORAL DAN ETIKA YANG BERDAMPAK LANGSUNG PADA POLA RASA, FIKIR DAN TINDAK.
Tambatan Hati, Perkataan atau Ucapan serta Perbuatan yang SELARAS dan bersumber pada Kepastian Kitabullaah dan Sunnah Rasuul, adalah JAMINAN bagi siapapun manusia di dunia ini untuk memiliki Akhlaq, Moral, Etika dan Budaya yang KUAT dan BAIK untuk dapat mengarungi kehidupan sehingga mereka, dia dan kita semua Selamat Dunia hingga Akhirat kelak, karena siap menghadapi efek apapun dari sebuah keadaan, termasuk globalisasi dimaksud.
Dengan bekal yang kuat tersebut, anak-anak dan remaja Indonesia akan selalu SIAP menghadapi konsekwensi dari globalisasi. Namun sayang, para Pendidik saat ini harus bekerja ekstra keras untuk mewujudkan dan membentuk “tools” dalam mengantisipasi derasnya globalisasi yang mayoritas menimbulkan efek negatif ketimbang positifnya, karena rapuhnya kebanyakan sistem pendidikan yang ada, baik secara institusi maupun keluarga.
Kita sungguh mempertaruhkan seluruh kehidupan bangsa dan negara ini di tangan generasi penerus kita dengan karakter yang saat ini mereka miliki. Untuk itulah Pendidikan Karakter yang Terencana, Terarah, Bertahap dan Berkelanjutan, menjadi SANGAT PENTING sebagai bagian dari upaya mempersiapkan Generasi Penerus Bangsa yang Kompeten, Kooperatif dan Reliable (dapat diandalkan).
Proses Pendidikan Karakter dapat dilaksanakan oleh Institusi Pendidikan yang memang memiliki “kewajiban” untuk membina dan membekali warga didik dengan perencanaan kurikulum dan silabus yang tepat. Selain itu pula, keluarga, yaitu Ibu dan Bapak juga memiliki peranan sangat penting dalam membentuk sinergi antara Pendidik Institusi dan Pendidik Pribadi, baik disekolah, di rumah dan lingkungan terdekatnya.
Di Indonesia, institusi Pendidikan Kepemimpinan cukup banyak berdiri, dimana tingkat urgensi dan importansinya dalam mencetak atau melahirkan Pemimpin-pemimpin yang memiliki Karakter Baik, Positif dan Kuat di masyarakat, yang tentu saja dalam prosesnya harus didukung dan dilengkapi oleh Kurikulum yang Tepat serta pengawasan pada proses pelaksanaannya.
Banyak sudah kita dengar dan saksikan, bahwa pada salah satu institusi Kepemimpinan sempat tercoreng dengan Tindak kekerasan yang menyebabkan wafatnya salah satu peserta didik dalam proses orientasi awal pendidikan.
Penulis berpendapat bahwa, seharusnya Penerapan Proses Pendidikan Karakter Harus Dilakukan Sejak Individu masih di dalam kandungan ibu, kemudian PAUD, TK, SD dan SMP sampai dengan SMA secara struktural, sembari “memaksa” para orang tua mengikuti pula Pendidikan untuk menjadi Orang Tua yang Baik dan Benar, karena melalui orang tualah, situasi dan keadaan menjadi KONDUSIF untuk dilaksanakannya Pendidikan Karakter Positif, Baik dan Benar.
Bogor, 25 April 2002016 – Larasindo Islamic Training Center