By Safrin Heruwanto, Business Coach, Trainer dan Soft Skills Development Specialist.
Masalah penggunaan gas elpiji 3 kg di Indonesia terus menjadi polemik karena beberapa faktor utama, termasuk kebijakan subsidi yang kurang tepat sasaran, definisi kemiskinan yang belum jelas, serta lemahnya pengawasan dan distribusi. Berikut adalah ulasan, analisa, dan kritik terhadap permasalahan ini:
Kebijakan Subsidi yang Tidak Tepat Sasaran
Gas elpiji 3 kg seharusnya diperuntukkan bagi masyarakat miskin, tetapi dalam praktiknya, banyak masyarakat dari golongan ekonomi menengah hingga atas juga menggunakannya. Beberapa penyebabnya:
- Tidak adanya mekanisme pengendalian yang ketat → Pembelian masih bisa dilakukan secara bebas di banyak tempat.
- Kurangnya data penerima manfaat yang akurat → Pendataan yang lemah menyebabkan banyak orang yang seharusnya tidak berhak tetap bisa membeli.
Kritik:
- Pemerintah perlu menerapkan sistem distribusi berbasis data yang lebih akurat, misalnya melalui sistem pendaftaran berbasis NIK atau teknologi digital seperti aplikasi e-subsidi.
Definisi “Miskin” yang Simpang Siur
Di Indonesia, kriteria kemiskinan masih memiliki banyak versi tergantung pada institusi yang mendefinisikannya (BPS, Kemensos, Bank Dunia, dll.). Akibatnya:
- Banyak masyarakat yang sebenarnya tidak masuk dalam kategori sangat miskin, tetapi masih mengakses subsidi ini.
- Penentuan kelompok penerima manfaat menjadi sulit karena standar kemiskinan yang digunakan sering berubah atau tidak seragam.
Kritik:
- Perlu ada kesepakatan nasional tentang definisi kemiskinan yang lebih jelas dan berbasis realitas lapangan.
- Sebaiknya menggunakan pendekatan multidimensional, seperti penghasilan, akses terhadap fasilitas dasar, dan kondisi rumah tangga.
Lemahnya Pengawasan dan Distribusi
Banyak kasus di mana elpiji bersubsidi bocor ke pihak yang tidak berhak, termasuk pelaku usaha yang memanfaatkan harga murah untuk keuntungan pribadi. Penyebabnya antara lain:
- Kurangnya kontrol di tingkat pengecer → Banyak toko masih menjual elpiji 3 kg tanpa pembatasan yang jelas.
- Maraknya praktik penyelewengan → Ada kasus pengoplosan atau penyalahgunaan oleh industri kecil dan restoran besar.
Kritik:
- Pengawasan harus lebih ketat dengan sistem distribusi berbasis identitas (misalnya dengan KTP atau kartu khusus penerima subsidi).
- Harus ada sanksi yang lebih tegas bagi pelaku penyalahgunaan, baik pengecer maupun pembeli yang tidak berhak.
Solusi untuk Menyelesaikan Kisruh
Beberapa langkah yang bisa diterapkan untuk memperbaiki masalah ini:
- Menerapkan subsidi tertutup → Hanya masyarakat yang terdaftar dalam sistem yang boleh membeli elpiji 3 kg.
- Meningkatkan penggunaan teknologi digital → Misalnya, menggunakan aplikasi atau kartu elektronik untuk mencatat distribusi.
- Mendorong migrasi ke gas non-subsidi bagi yang mampu → Dengan insentif bagi rumah tangga menengah yang beralih ke gas ukuran lebih besar.
- Menegakkan aturan dengan lebih tegas → Memberikan hukuman berat bagi pelaku penyelewengan agar ada efek jera.
Simpulan
Kisruh elpiji 3 kg di Indonesia mencerminkan permasalahan klasik dalam kebijakan subsidi: distribusi yang kurang tepat sasaran, lemahnya pengawasan, serta definisi penerima manfaat yang belum jelas. Tanpa reformasi kebijakan yang tegas dan berbasis data, masalah ini akan terus berulang. Pemerintah perlu lebih proaktif dalam mengembangkan sistem yang lebih transparan dan adil agar subsidi benar-benar dinikmati oleh mereka yang membutuhkan.